Diberdayakan oleh Blogger.
Saat para cendikia berkata, yang lain mendengar...
Saat para fakir berbicara, yang lain membuang muka

Minggu, 17 Januari 2010

Bisa kuganti dukamu sahabat???


Bisa kuganti dukamu sahabat???

Boleh kupinjam peniti untuk menyambung separuh dari hatiku,boleh kupinjam benang dan jarum untuk merajut bongkahan hatiku..”
                Widia terpaku sejenak memandang secarik kertas yang diserahkan Angga padanya. Dan sekarang si penulis berdiri tepat di hadapannya, memandang lewat sudut mata penuh harap.
                Penonton diam menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Widia, suasana panggung temaram. Disetting layaknya sebuah taman kota di senja hari. Ada sebuah panggung panjang yang diletakkan diantara tempat tokoh Widia dan Angga berdiri.

“Bolehkan aku tahu apa suara hatimu, Dia...”
                “Aku....”pandangan mereka beradu
                “Lama aku pendam perasaanku, tapi tak kunjung ada keberanian membongkarnya. Aku terlewat takut kalo aku mengatakannya kamu akan menjauhiku,..”
                “Angga...aku..,kita sahabat,..kita lebih dari teman, tapi tak lebih dari sahabat, kita saling melengkapi tapi tak bisa jadi kekasih”Widia mengucapkan kalimat pamungkas yang sedari tadi ditunggu penonton dengan deraian air mata.
                Detik berikutnya, Widia berlari menghindar. Dan sekarang tinggal Angga yang berdiri mematung di atas pentas. Penonton masih diam, sebagian yang wanita sudah ikut menangis. Para pria memberi tissue sebagai ungkapan bela sungkawa mereka. Di sudut lain, Indi cuma tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat temannya si Upik yang ikut menangis.


Adegan berikutnya, Angga tampak menghampiri bangku kosong yang tak jauh dari tempatnya tadi berdiri, duduk terpekur, tatapannya nanar ke arah kertas yang tadi dijatuhkan Widia. Back sound  piano pelan mengiringi actingnya. Sedih dan Pilu dentingannya, kemudian terdengar monolog dari suara pemeran Angga yang sudah didubbing.
                Sulit mengukir pelangi ceria,sebab semua terhapus oleh bilangan sendu...tak terhitung resahku karenamu, sakit berdenyut perih karena ulahmu. Mungkin ini sebuah penyakit kronis yang kuderita, terkadang tak disadari dan aku tlah terjangkiti hingga menyunsum ke tulang-tulang. Rasa rindu yang memuncah, ingin teriak tapi hanya air mata yang mengalir menganak sungai. Hati perih tak kala tubuh ini tlah dijodohkan dengan kata setia. Setia pada dirimu, setia menunggu pagi menjemput hingga malam menjelang dan kuselipkan harap padamu dan rasa ini tak akan mengepul begitu saja,sebab akan kusimpan di palung hatiku, akan kusimpan untukmu...untukmu Widia....
                Dentingan piano berhenti dan tirai pentas perlahan menutup, penonton spontan memberi aplouse yang meriah.
                “Lebay.....”umpat Indi dalam hati
***



 
“KEREN banget Indi, sumpah”Upik masih memegang sisa tissuenya, matanya masih nampak berwarna merah
                “Nga terlalu berlebihan tuh” ucap Indi jujur
                “Ya ngalah, kalo pementasan seperti itu, mang beda dengan sinetron. Ni ya,..aku kasih tau,bedanya aktris pemain sinetron dengan teatrikal itu jauh banget. Kalo pemain sinetron mereka hanya pura-pura menjadi apa yang dilakoninya, tapi kalo di teatrikal smua yang dilakoninya murni adalah ‘menjadi’ ya...bisa dibilang para pemain teater itu meninggalkan jati dirinya di dunia nyata untuk sementara melakoni peran yang dipercayakan untuknya, emosi dan jiwanya harus dapat”
                Indi geleng-geleng kepala, lalu segera mengapit lega Upik, berjalan cepat menjauhi ruangan pentas.
                “Kita makan mie bakso yuk,di warung Mas Deny” ajak Indi, Upik mengangguk sepakat.
                Warung mas Deny jaraknya hanya sekitar 200 meter dari tempat pementasan tadi, letaknya hampir di ujung jalan, diapit toko pakaian dan counter pulsa. Indi dan Upik memang doyan makan bakso, dan bakso langganan mereka adalah bikinan Mas Deny seorang. Kalo dalam urusan bakso, Indi nda bakal berkomentar lebay, karena memang ia termasuk orang yang terhipnotis kelezatan bakso mas Deny.
                “Mas seperti biasa”sahut Indi agak keras, masnya mengangguk sambil tersenyum. Sudah paham dia selera 2 gadis itu.
                “Eh ndi,tau nga kalo si Mus bakal pindah rumah minggu depan?”
                “Mus yang anak kelas C itu, teman kampus kan maksud kamu?”

“Iya, Mus yang itu”
                “Kenapa emangnya”
                “Kakak sulungnya dimutasi ke sini, dulu kan dia di Timika”
                “Lho kok Mus pindah rumah, apa kaitannya, kan kakaknya yang ke Semarang”
                “Maksudku sekarang dia bakal tinggal bareng kakaknya di dekat kantor kakaknya”
                “Oh..bagus itu” Jawab Indi sekenanya
                “Trus si Indar,kemarin dia pingsan”
                Indi diam, dia melirik Mas Deny. Kenapa baksonya lama ya??
                “Indar sakit, aku nda tau dia sakit apa dan lebih memprihatinkan lagi karena dia tidak seberuntung Mus yang bisa tinggal sama-sama kakaknya atau sberuntung kita yang masih bersama orang tua, Indar kan ngekos di dekat kampus”
                “Ya...”
                “Aku jadi berpikir deh In, kalo kita ditukar dengan mereka, kira-kira kita bisa nga ya?” 
                “Maksudnya?”
                “Ya...tinggal jauh dari orang tua, Indar dan Mus itu bukan tinggal di pulau Jawa. Mus orang Kalimantan, sementara Indar orang Sulawesi. Masih mendingan kalo tempat tinggal orang tuanya deket Semarang. Lha itu nyebrang pulau, harus butuh perencanaan untuk jenguk anak mereka, iya kan”
                “Hm..”
                “Besok kita jenguk Indar yuk In”
                Mas deny datang membawa dua mangkuk bakso dan hiasan lainnya, maksudnya ada kecap, sambel, garam, bumbu-bumbu, dan air mineral.
                “Mas, satu es jeruk. Eh Pik kamu mau nda?”
                “Nga usah, air mineral cukup kok”
                Indy sibuk mencampur baksonya dengan takaran kecap, sambel yang pas menurut seleranya, sementara Upik masih sibuk bercerita. Sekarang dia bercerita tentang tukang parkir di kampus mereka, namanya Bang Jojo.
                “Lebih parah lagi bang Jo, dia harus bangun pagi-pagi skali. Dia bahkan tinggal di deket kampus supaya nda tlat. Keluarganya semua diboyong, aku pernah liat putrinya Bang Jojo, cantik Ndi..kata Bang Jojo sih dia udah masuk SD, klas satu kalo nda salah ingat”

“Pik, baksonya nda dicampur kecap ya?”Indi mengingatkan, Upik pelan menuangkan kecap ke mangkuk baksonya
                “Apa kira-kita yang  lebih parah dari keadaan mereka ya Ndi”
Indi mulai gerah dengan tingkah sahabatnya yang satu itu, kenapa merusak ritual makan bakso mereka. Cukup dia makan saja, duduk yang manis dan tidak usah banyak komentar. Selera makannya jadi nda ada kalo begini jadinya.
                “Menurutmu?”tanya Indi balik
                “Kan aku nanya ke kamu toh Ndi”
                “Mana aku taulah Pik, sedari tadi kamu yang nyerocos, dari Mus, Indar mpe Bang Jojo kamu cerita, bentar lagi staf akademik ikut kamu cerita, mbak fitri sampai senior kita di kampus mungkin”
                “Ndi bukan begitu,aku Cuma cerita aja..bukan ngegosip”
                “Udah, kita makan sekarang”
                “Yo weslah”Upik menunduk pasrah, masam sekali mukanya. Indi menyelidik kesal, nga sampai hati sebenarnya menegur Upik seperti itu, tapi Indi benar-benar gerah, bete stadium akut liat tingkah Upik hari ini
                “Pik maaf ya, tapi ada baiknya kita makan dulu baru cerita”
                Upik diam saja, suapan pertama mendarat di mulutnya
***
                Pendar-pendar jingga mulai mengatur diri di ufuk barat saat mereka berdua meninggalkan warung Mas Deny. Jam tangan Upik menunjukkan pukul 5 lewat 15 menit
                “Kamu nda shalat juga kan Ndi”
                “Ya..lagi dapat aku”
 
“Eh temani aku ke butik tanteku yuk”
                “Butik tante Leny”
                Upik mengangguk cepat, Indi cuma tersenyum. Ada sedikit lelah terselip di senyumannya. Tapi andai saja hari ini bukan hari terakhir dia bersama Upik di Semarang, dia tak akan betah.Indi paling dan suka jalan terlalu lama, kakinya nda kuat untuk dipakai berjam-jam menapaki jalanan. Dia cepat capek.
                Besok sore, Indi akan bertolak ke Makassar,tempat Ayahnya di mutasi. Dan entah berapa lama mereka bisa bertemu lagi. Kepindahannya tlah diurus matang-matang oleh Ayah Indi jauh hari sebelumnya, Indi akan kuliah di jurusan yang sama, Komunikasi di UNHAS, Makassar. Gampang untuk mengurus hal seperti itu bagi seorang Ayah Indy,karena koleganya bertebaran di seluruh Nusantara. Lagian Indi belum siap untuk hidup sendiri di kota Semarang dan Ibunya juga tidak rela meninggalkannya sendiri, maklumlah Indy adalah putri semata wayang mereka.
                Dan sudah 6 jam ia berjalan mengelilingi kota Semarang bersama Upik, tapi kalimat berpamitan itu belum juga bisa ia ungkapkan, sedari tadi yang jago berkomat-kamit malah Upik.
                “Pik...”panggil Indi pelan
                “Kira-kira kalo orang hamil di luar nikah, itu lebih parah mana dari kondisi Indar, Pak Jojo atau...
                “STOP”pekik Indi
                Upik menoleh, airmatanya meleleh. Indi jadi salah tingkah.
                “Upik”
                “Apa yang ingin kau katakan Indi, dan apa yang ingin kau dengar dariku?”isak Upik
                “Aku...”
                “Mana yang kamu pilih, bagaimana perasaanmu jika jadi mereka Indi, atau kamu lebih memilih jadi wanita yang hamil di luar pernikahan,apa kau tau betapa menderitanya mereka, tidak ada yang baik kan Ndi, bahkan kamu nda mau memilih”
                “Bukan begitu Upik...”
                “Kamu tidak bakal mengalaminya karena kamu...”

“Aku akan pindah ke Makassar, puas.Ayah dimutasi ke sana. Dan aku...tak bisa hidup tanpa mereka, karena kau tidak mau kehidupan seperti Mus dengan kakaknya yang harus tinggal berjauhan dengan orang tuanya, atau seperti Indar yang sakit dan jauh dari keluarganya, Pak Jojo dengan keterbatasan ekonominya, aku tidak mau,ajdi kuputuskan untuk ikut mereka.aku akan pindah ke Makassar...Ayah sudah mengurusnya. Dari tadi aku ingin mengatakan hal itu, tapi sejak kita keluar hari ini kau tidak berhenti mengoceh dari A-Z” mata Indi melotot merah, ada serpihan seperti kaca di bola matanya, dadanya naik turun.
                “Apa..”Upik mengeleng tidak percaya
                “Ya...semuanya sudah diurus Ayah, aku akan kuliah disana, besok sore aku berangkat”sahut Indi mereda
                “Ndi..aku...hamil..., Ndi aku takut...” kali ini airmatanya benar-benar mengalir deras, Upik mencengkeram lengan Indi. Indi terperangah memandangi sahabatnya.
                “Siapa??Siapa yang berani melakukannya?”
                “Aku diperkosa Ndi, dua bulan yang lalu..aku takut...Aku mohon jangan tinggalkan aku, aku butuh kamu Ndi,jangan pergi”Upik terus mencengkeram tubuh Indi kali ini lebih keras
                Indi mengingat kebersamaannya dengan Upik sejak bangku SMP, bahkan mereka mengambil jurusan yang sama di bangku kuliah. Upik yang periang, Upik yang suka nonton opera dan teater, Upik yang punya lesung pipi, Uping yang penuh semangat, Upik si suara merdu, Upik yang selalu membahagiakan orang lain, Upik yang begitu peduli dengan orang lain, Upik yang...Tuhan,,,kenapa dia yang Engkau pilih dengan cobaan ini, dia terlalu baik untuk hal ini. Terbayang lagi Ayah dan Ibu Indi yang menunggunya di rumah, yang paham akan kebersamaannya dengan Upik, yang bisa mengerti kalo  Indi butuh waktu untuk mengatakan kepergiannya ke Makassar pada Upik. Dan dia harus meninggalkan Upik sendirian di sini. Ngak akan...karena Upik sahabatnya dan sudah terlalu banyak yang ia korbankan untuk dirinya. Ayah...Ibu, maafkan Indi,Indi harus tinggal di sini, ada yang lebih membutuhkan Indi. Kuharap Ayah dan Ibu bisa mengerti..bisik Indi dalam hati
                Indi meraih kepala Upik dan membenamkannya di bahunya
                “Upik, aku tak akan pergi, aku disini, selalu kapanpun kau membutuhkanku”bisiknya di telinga Upik
Upik terisak keras, ada banyak orang memandangi mereka tapi Indi tak peduli yang ia pedulikan sekarang adalah suasana hati sahabatnya. Bisa kuganti dukamu sahabat???Bisa kulebur laramu?? Semoga........


(Phuji Astuti)
 








1 komentar:

Unknown mengatakan...

nice

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...