Diberdayakan oleh Blogger.
Saat para cendikia berkata, yang lain mendengar...
Saat para fakir berbicara, yang lain membuang muka

Kamis, 14 Januari 2010

Yang tertunda


                Yang tertunda
Euforia di ruangan itu tak kunjung berhenti. Sudah setengah jam yang lalu sejak penerimaan tanda kelulusan,memang belum pemberian ijasah hanya surat tertulis yang menyatakan kelulusan. Betapa tidak,100% murid sekolah itu lulus tak bersisi, sementara banyak sekolah-sekolah menengah atas lainnya yang muridnya  ada yang tidak lulus, bahkan ada yang hampir mendkati angka 100% tidak lulus.
Para gurupun ikut tersenyum bangga, tak terbilang rasa senang mereka hari ini. Sampah berserakan dimana-mana,bekas pembungkus nasi para tamu dan orangtua murid yang menghadiri  pengumuman kelulusan. Sebelumnya telah diperingatkan untuk tidak saling mencoret baju seragam,toh mereka tak mengubris. Sebentar lagi keliatannya mereka aka turun ke jalanan, tradisi anak sekolahan disetiap hari kelulusannya. Turun memamerkan diri bahwa mereka sudah lulus,mereka sebentar lagi menyandang gelar ‘mahasiswa’
Begitu kontras dengan raut wajah laki-laki yang berdiri tepat menghadap lapangan. Tak ada euforia disana, dia berdiri tegak memandangi teman-temannya, beku bak es, nyaris tanpa ekspresi. Sebuah amplop bertuliskan kata ‘lulus’ juga ia kantongi malah sebuah amplop berwarna kuning keemasan berhimpit diatas amplop putih. Amplop kuning keemasan menandakan bahwa pemuda ini adalah salah satu dari 3 orang yang beruntung menempati peringkat 3 teratas. Ada apa dengan dia?? Siapa gerangan pemuda bodoh itu?? bodoh karena tak bisa merasakan dimensi suasana sekitar...

“Wi, ntar ke rumahku ya”tegur seseorang dari arah belakang
Yang dipanggil menoleh sejenak,
                “Ada acara syukuran kelulusanku, Alwi datang ya?”pintanya lagi
                “Jam berapa Sya?”
Gadis itu nampak tersenyum,puas juga dia akhirnya Alwi bisa berucap,.
                “Selesai kamu shalat sore nanti. Datang ya,oh iya..selamat Wi, kamu memang hebat.Fakultas Kedokteran menantimu kawan”
                Gadis itu berlalu sambil melemparkan senyuman manisnya.Alwi beringsut untuk membalas senyumananya yang pada akhirnya terlihat aneh.
                Ya...laki-laki itu bernama Alwi, sang jenius di sekolahnya. Seorang pemuda yang hidup terlampau sederhana. Paras kesederhanaan terpahat kuat di wajahnya, bukan hanya itu ada sejumlah garis karakter yang turut menemani sederhananya. Alwi terkenal pendiam, terpatok jadi seorang yang tak banyak bicara tapi senatero sekolah mengenal sepak terjangnya, nilai akademiknya yang lain dari yang lain, mencolok sendiri. Dia benar sang jenius yang sederhana.  
                Sementara gadis yang menyapanya juga bukan gadis biasa. Namanya Marsya, gadis penganut nasrani yang terkenal di sekolah karena kecantikannya, senyumnya yang menawan, sikap dan kebaikannya, juga kepintarannya. Sama seperti Alwi, Marsyapun beruntung bsia mengantongi amplop kuning keemasan karena dia meraih peringkat tiga. Tak perlu ditanya siapa peringkat satu, karena jelas itu kepunyaan Alwi.
                Satu jam setelah kejadian itu..terlihat betul tak ada keistimewaan di hari yang seharusnya istimewa ini. Kedokteran?? Apa itu jawaban dari segala mimpi Alwi?? Jangankan untuk kuliah disana, menyandang gelar mahasiswa saja Alwi tak berani bermimpi. Sudah cukup kenyang ia, dengan profil ‘kedokteran’ yang menakutkan. Mpok Minah, yang punya keponakan kuliah di Kedokteran, pernah menyumbangkan komentarnya. Katanya, biaya untuk kuliah di kedokteran mahal banget, buku-bukunya tebal-tebal, harus bayar ini dan itu. Pak Yusuf, guru olahraganya malah pernah berkelakar, katanya kalo mau masuk ke kedokteran bukan Cuma perlu otak tapi duit juga nda kalah penting,malah sekarang yang duduk di bangku kuliah kedokteran lebih banyak yang berduit ketimbang yang encer otaknya.
                Sebenarnya Alwi tak bermimpi untuk jadi seorang dokter, dia sama sekali tak tertarik dengan pilihan ‘sejuta ummat’ itu, tapi kebanyakan temannya sudah memvonis asanya berujung kesana. Alwi sungguh kagum dengan jasa seorang pengacara, menurut Alwi seorang pengacara bak pahlawan yang muncul di era modern,..Alwi ingin masuk fakultas Hukum.
                Hm...suasana rumah begitu mendukung,..temaram, senyap dan apek. Dari tadi Alwi duduk di pojok ruangan menganyam bakul pesanan orang. Itu memang tugasnya sehari-hari. Kedua abangnya jadi montir di bengkel Pak Hasan yang letaknya di ujung jalan sekitar satu kilometer jarakanya dari rumah mereka, bapak dan ibunya bekerja di kebun milik Pak Haji Sutarji. Upah yang mereka peroleh cukup untuk menghidupi keluarga dan biaya sekolah Alwi.sementara upah anyaman bakul ini, Alwi sendiri yang simpan.
                Rasanya hari ini, ia seperti mencecap madu yang hampar rasanya. Di satu sisi, dia berhasil menyelesaikan sekolahnya,itu berarti orang tuanya tidak lagi membiayai sekolahnya, di sisi lain dia tak ingin berhenti hanya dengan lulusan seragam putih abu saja, dia mau lebih, dia mau menjadi sarjana. Betapa sulitnyakah untuk jadi seorang mahasiswa hukum??
                Tok..tok..tok..
Seseorang mengetuk pintu rumah,..Akh tidak mungkin ibu dan bapak. Sekarang masih jam 2 siang, terlalu awal untuk pulang,biasanya mereka pulang ke rumah menjelang magrib. Tidak mungkin juga kedua abangnya, karena merekapun bekerja sampai sore bahkan terkadang hingga malam hari. Ada juga Ibu Ais yang datang mengantar pesanan bakul, itupun nda serutin biasanya, pemesanan bakul sepertinya semakin menurun atau Ibu Rini yang kerap menitip anaknya kalau ia hendak bepergian, Upik anaknya senang bermain dengan Alwi.
                “Assalamu’alaikum”
                “Waalaikum salam”Alwi bergegas membukakan pintu. Ternyata ibu Ais, dugaannya benar
                “Ada apa Bu?” ucap Alwi setelah mempersilahkan masuk Ibu Ais
                “Pesanan minggu lalu dah selesai Wi?”
                “Oh, yang 10 buah itu, sudah..sudah..”
                “Lha..yang ini kamu bikin ini pesanan siapa?”
                “Oh...ini Cuma iseng bu sambil nunggu pengumuman kelulusan, daripada nda ada kerjaan. Ibu sama bapak juga melarang ikut ke kebun”               
                Ibu Ais nampak tersenyum, lalu mengangguk pelan
                “Oh aku sampe lupa kamu sudah tamat sekolah toh?? Si Marsya satu angkatanmu kan”
                Alwi mengangguk
                “Mau lanjut kemana nanti?” lagi-lagi pertanyaan itu..., Alwi hanya tersenyum sebagai jawabannya
                “Kamu sukanya apa?jangan menyerah, dua abangmu Cuma jadi montir bengkel, sudah sepatutnya kamu kuliah,apalagi kamu pandai, kamu pasti bisa lulus ujian masuk universitas”
                “Iya bu”
                “Aku juga punya keponakan seperti kamu Wi, tapi dia tetap kuliah,jaman sekarang nda usah kuatir yang penting ada niat, berdoa sama Gusti Allah” Ibu Ais jongkok memperhatikan anyamanku
                “Kamu lanjut saja ya Wi”
                “Iya Bu” Alwi makin nda enak hati, tapi tetap senang dengan motivasi Bu Ais
                “Oh iya, kemarin ibu PKK di dusun sebelah mesan 20 bakul ke ibu, trus dari pihak Kecamatan juga mesan 30 bakul. Tapi ibu belum iyakan karena kamunya buat sendiri saja,ibu nda tau kamu sanggup apa tidak??”
                “pesan 50 bakul semuanya?”ulang Alwi tak percaya, ini sebuah rekor baginya, paling banyak pesanan yang diantarkan Ibu Ais seingatnya adalah 20 bakul, itupun tahun lalu,waktu ada acara dibalai desa.
                “Tapi mereka mau ambil minggu depan”
                “Oh..nda apa-apa Bu, Alwi bisa kok”
                “Bener?”
                “Iya” binar gembira perlahan mendominasi matanya
                “Oke, kalo begitu yang sepuluh ini ibu bawa ya, besok ibu bawakan separuh dari harga bakulnya”
                Alwi Cuma bisa mengangguk pasti dan tersenyum lebar. Terimakasih Tuhan, lirih hatinya
                Azan berkumandang, jam setengah 4. Alwi bergegas mengambil air wudhu dan menunaikan shalat. Selepas itu, dia mau ke rumah Marsya, memenuhi undangan syukuran kelulusannya.
                Marsya, ternyata benar-benar idola sekolah. Yang datang ke acara syukurannya bejibun. Sebagian besar Alwi tidak kenal, padahal kata Ibnu yang datang bersamanya, itu adik kelas mereka. Ckckck...Alwi tidak kenal adik kelas
                Sore itu Marsya mengenakan rok warna putih yang potongannya hingga melewati lututnya dipadu kaos warna ungu muda. Marsya nampak begitu santai tapi tetap cantik,
                “Eh, Alwi..Ibnu..mari masuk”sapanya ramah
                Kami berjalan melewati ruang tengah menuju ke sebuah meja kosong yang ditunjukkan Marsya.
                “Meja sang juara”ucapnya pelan
                “Akh Marsya, nda perlu begitu”ucap Ibnu. Mereka bertiga memang peringkat teratas di sekolahan.
                “Jadi, apa rencana kalian berdua setelah ini?”Marsya ikut duduk menemani Ibnu dan Alwi
                “Aku mau ke Jakarta, daftar di UI”sahut Ibnu mantap, Marsya menoleh ke Alwi yang sejak tadi diam
                “Kamu mau ambil apa Nu?”tanya Alwi mengabaikan tatapan Marsya
                “Ya apaagi kalo bukan Kedokteran,tapi sebenarnya aku lebih suka Matematika, aku mau jadi dosen. Kedokteran Cuma anjuran orang tuaku saja’
                “Jadi kamu milih mana?”
                “Pilihan pertama FK, kedua Matematika, kamu sendiri?”
                “Hm...aku mau masuk Fakultas Hukum UI”jawab Marsya mantap. Alwi nampak kaget dengan pilihan gadis itu, tebakannya selamaini Marsya yang menyukai pelajaran biologi dan bahasa Inggris itu berkeinginan jadi dokter, ternyata dugaannya meleset.
                “Kalo Alwi?”
                Alwi memandangi mereka berdua bergantian lalu tersenyum simpul.
                “Insya Allah aku kuliah seperti kalian”
                “Ambil Kedokteran?”
                “Entahlah”
                “Yang jelas dong Wi”sahut Ibnu
                “nanti juga kamu tau Nu, eh ayo makan”
                “Heheh...benar juga” Marsya memandangi kedua temannya dengan senyuman bangga. Dalam hatinya berdoa,smoga apa yang mereka citakan tercapai.
                Alwi mencicipi masakan yang teramat jarang ia nikmati dalam hidupnya sembari berucap dalam hati
Tuhanku tersayang..ijinkan aku jadi perantaraMu untuk mengungka fakta kebenaran diantara ketidak adilan yang kerap terjadi di muka bumi ini. Ijinkan aku menjadi mahasiswa jurusan Hukum, ijinkan aku untuk jadi seorang pengacara...itu pintaku”
               


                   

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...